Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda merupakan lembaga pendidikan multikultural di kota Medan, Sumatra Utara. Sekolah yang berdiri pada 1987 ini mengupayakan pembauran antaretnis dan agama melalui bidang pendidikan.
Setiap peserta didik diajarkan mengenai hidup bersama dalam keberagaman agama dan budaya yang ada di Indonesia. Dengan demikian, mereka dapat menghargai setiap orang tanpa memandang latar belakang agama dan budayanya. Perbedaan tidak pernah menjadi alasan untuk tidak menghormati orang lain.
Sekolah ini bertujuan untuk mengaktualisasikan semboyan Indonesia yang ber-Bhinneka Tungkal Ika . Pihak sekolah menyediakan tempat ibadah bagi setiap agama yang ada di Indonesia. Murid-murid difasilitasi dalam menjalankan ibadah dan perayaan keagamaan menurut kepercayaannya masing-masing.
Lembaga pendidikan ini mengupayakan adanya interaksi dan pertukaran budaya untuk mendapatkan saling pengertian dan kesepahaman di antara para siswa bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan perbedaan adalah sebuah kewajaran.
Pihak sekolah juga berupaya agar masyarakat ekonomi rendah juga dapat bersekolah. Sofyan Tan sebagai pendiri tampaknya sadar, kecemburuan sosial masih menjadi isu utama dalam membangun relasi yang harmonis antaretnis. Melalui program Anak Asuh Silang, Subsidi Berantai, dan Bantuan sosial dengan melibatkan masyarakat luas, sekolah ini berupaya untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat tidak mampu untuk sekolah.
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan dr. Sofyan Tan berangkat dari pengalaman pahitnya diskriminasi etnis yang dialaminya. Karena mata sipitnya, ia harus mengulang ujian negara bidang kedokteran beberapa kali untuk satu mata kuliah. Padahal ia bukan orang kaya. Sofyan Tan harus nyambi bekerja sebagai guru untuk membiayai sekolahnya.
Pengalaman hidup miskin dan diskriminasi yang diterimanya menginspirasinya untuk memperjuangkan pembauran antaretnis. Ia kemudian mendirikan sekolah dengan mengusung pendidikan multikultur. Langkah ini tergolong berani. Ia sendiri tidak mempunyai uang untuk membiayai sekolahnya. Dana untuk pendirian sekolah, ia dapatkan dari utang bank. Padahal sekolah yang ia dirikan dimaksudkan untuk menampung juga siswa-siswa tidak mampu.
Teman-temannya menganggap tindakannya gila. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengentaskan orang lain dari kemiskinan, ujar mereka. Nyatanya lembaga pendidikan ini masih berdiri sampai sekarang, menampung ribuan murid dari beragam latar belakang.
Atas kiprahnya dalam memperjuangkan pembauran ini, anggota DPR RI komisi X bidang pendidikan ini dianugerahi Maarif Award pada 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar